BANDUNG – Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia bersama Academic Leadership Grant (ALG) Universitas Padjadjaran merilis hasil penelitian dampak penggunaan rokok konvensional (bakar) dan rokok elektrik (vape).

Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia dan Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (Kabar) Dr, drg Amaliya, MSc, Ph.D menerangkan, pihaknya melakukan penelitian terhadap cairan atau liquid yang dipakai sebagai bahan dasar rokok elektrik atau vape. Tujuannya, mengetahui apakah ada perubahan zat setelah liquid dipanaskan.

“Kami menggunakan sembilan merek liquid yang beredar di Kota Bandung. Semua kami kumpulkan dari harga Rp45.000 sampai Rp600.000. Produk yang kami pilih yang memenuhi aturan, seperti menyertakan kandungan zat pada cairan tersebut,” jelas Amaliya pada seminar bertajuk Mengatasi Solusi Masalah Rokok di Kampus Fakultas Gigi Unpad, Kota Bandung, Rabu (23/5) petang.

Hasil penelitian terhadap semua cairan vape setelah dipanaskan menggunakan alat tertentu, nyaris semua cairan tidak mengalami perubahan zat. Peneliti hanya menemukan penambahan antara satu hingga dua zat. Juga ditemukan liquid yang tidak mengalami penambahan zat sama sekali.

“Kami mesti melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui zat baru itu. Apakah aman atau tidak bagi tubuh. Walaupun, dari sisi jumlah penambahannya sangat sedikit. Berbeda dengan rokok tembakau yang dibakar,” kata dia.

Berdasarkan hasil penelitian itu, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik serta produk tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar, memiliki risiko kesehatan  lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Bahwa pengguna produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik memiliki risiko kesehatan dua kali lebih rendah dibandingkan perokok konvensional.

Peneliti ALG lainnya Dra. Hening Tjaturina M.Si mengatakan, pihaknya juga meneliti dampak pada mulut terhadap pengguna rokok elektrik. Penelitian dilakukan selama periode Maret-Mei 2017 ditujukan untuk mengetahui perubahan sel yang diperiksa pada mulut.

Cuplikan sel diambil dari ketiga kelompok sampel utama, yakni kelompok perokok aktif, pengguna rokok elektrik, dan non perokok. Hasilnya didapati bahwa perokok aktif memiliki jumlah inti sel kecll dalam kategori tinggi, sebanyak 147,1.

Sedangkan pengguna rokok elektrik dan non perokok masuk dalam kategori normal. Yakni berkisar pada angka 70-80. “Hasil ini memperlihatkan bahwa jumlah inti sel kecil pengguna rokok elektrik cenderung sama dengan non perokok, dan dua kali lebih rendah dari perokok aktif,” kata dia.

Melalui hasil penelitian itu, pihaknya berharap prevalensi rokok di Indonesia bisa dikurangi dengan menggunakan rokok elektrik. Saat ini, Indonesia menempati urutan pertama, negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.

sumber